BOGOR, CEKLISSATU – Tentu kita harus memberikan apresiasi kepada DKPP RI yang telah memutuskan untuk memberhentikan Hasyim Asy'ari, baik dari jabatannya sebagai ketua KPU RI maupun sebagai anggota KPU RI. Walaupun keputusan ini dinilai sangat terlambat. Terlambat dalam pemberhentiannya. 

Seharusnya DKPP memberikan sanksi pemberhentian ketika kasus yang sama sebelumnya. Dimana Hasyim terbukti bersalah telah melakukan perbuatan asusila dan gratifikasi kepada "Wanita Emas". 

DKPP hanya memberikan vonis peringatan keras terakhir. Seharusnya langsung diberhentikan, karena kasus etik itu bukan akumulatif. 

Kemudian sangat terlambat keputusan DKPP dalam kasus terakhir ini. Kasus asusila terhadap salah seorang anggota PPLN untuk wilayah eropa ini terjadi pada tahapan Pemilu 2024. 

Baca Juga : DKPP Jatuhkan Sanksi Pemberhentian Tetap kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari

Namun diputus setelah adanya kepastian keterpilihan Anggota Legislatif dan pasangan presiden dan wakil presiden. Sehingga disini terlihat putusan DKPP juga sangat mengandung politis. 

Dalam prespektif Pilkada serentak 2024 bagaimana pengaruhnya? 

Dalam pelaksanaannya Pilkada Serentak 2024 posisi KPU RI tidak mempunyai peran signifikan. Peran KPU RI hanya pada ranah regulasi dalam hal ini Peraturan KPU dan berbagai variabel turunanya. 

Sisanya merupakan peran dari KPU Propinsi dan Kabupaten/Kota. Begitupun dengan penglolaan anggaran. 

Sumber anggaran Pilkada Serentak 2024 bersumber dari APBD Propinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing. 

Baca Juga : Disanksi Peringatan Keras Terakhir oleh DKPP, Begini Respon Ketua KPU Hasyim Asy'ari

Tidak melibatkan anggaran APBN terkecuali kegiatan yang dilakukan oleh KPU RI yang berkaitan dengan Pilkada seperti monitoring, visitasi dan tugas-tugas delegatif. 

Sehingga urusan Pilkada Serentak 2024 murni merupakan kerjanya KPU Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam konteks pelaksanaan pemberhentian Ketua KPU RI sama sekali tidak terpengaruh terhadap proses pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. 

Andaipun akan dikaitkan pemberhentian ketua KPU RI dengan Pilkada lebih pada ranah non teknis dampaknya. 

Pertama, Trust Publik. Tentu saja perilaku ketua KPU RI ini mencoreng nama besar penyelenggara Pemilu, terlebih yang dinyatakan bersalah merupakan simbol utama penyelenggara Pemilu yaitu ketua KPU RI. 

Selain kasusnya tidak hanya sekali ini, minimal dua kali mendapatkan vonis bersalah. Tentu saja kondisi ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu

Kedua, menjadi pemantik. Masyarakat akan terinapirasi dengan kejadian ini, sehingga akan memunculkan keberanian publik atau peserta Pilkada untuk mengadukan kasus etik jika dalam pelaksanaan pilkada ditemukan pelanggaran etika penyelenggara pemilu

Ketiga, Warning bagi penyelenggara pemilu pada Pilkada Serentak 2024. Terlebih jika kasus ketua KPU RI ini dibawa ke danah pidana dengan alat bukti putusan DKPP RI. 

Karena kasus asusila yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu dalam Pemilu dan pemilihan merupakan pelanggaran etik. 

Begitupun ketika ditarik ke ranah pidana umum akan banyak pasal yang bisa digunakan termasuk pasal penyalahgunaan jabatan. Karena informasinya pihak pengadu akan juga membawa kasus ini ke ranah hukum pidana.

*)Penulis: Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, yang juga Founder Lembaga Studi Visi Nusantara Maju (LS Vinus), Yusfitriadi.