BOGOR, CEKLISSATU - Pembongkaran jembatan Otto Iskandardinata (Otista) yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor lantaran akan dibangun ulang dan terintegrasi dengan moda transportasi Trem, kini menuai polemik.


Pemerhati Kota Pusaka dan Kecagarbudayaan, Dayan D.L. Allo mengatakan, berdasarkan Perda nomor 17 tahun 2019 yang merupakan salinan dari Undang Undang Cagar Budaya, pembongkaran Jembatan Otista dinilai tindakan melawan hukum yang bisa dipidana sesuai undang undang berlaku. 


"Pada struktur Jembatan Otista, ada bangunan Cagar Budaya yang sudah tertuang di dalam Peraturan Walikota Bogor nomor 17 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka bahwa Jembatan Otista masuk kedalam struktur Cagar Budaya,"kata dia.

Baca Juga : Pria Arab Saudi yang Viral Halangi Mobil Ambulance di Bogor Berujung Damai


"Jadi kalau melanggar Undang Undang Cagar Budaya, otomatis pelanggaran dan bisa dihukum pidana sesuai aturan berlaku," ucapnya kepada awak media pada Rabu, 10 Mei 2023.


Bangunan Cagar Budaya, sambung Dayan, harus dilestarikan dan ada prosedurnya untuk kegiatan pembongkaran Cagar Budaya. Terkait Perwali 17 tahun 2015 memang bukan peraturan yang menghukum, tetapi itu amanat wali kota yang ditandatangani juga oleh Bima Arya di tahun 2015. 


Apalagi, masih kata Dayan, dalam Perwali tersebut mengamanatkan kepada diri sendiri untuk melestarikan seluruh Cagar Budaya yang ada di Kota Bogor, dan dalam hal ini jembatan Otista masuk kedalam Cagar Budaya yang harus dilestarikan. Ada 4 jembatan yang masuk dalam Perda itu, diantaranya, Jembatan MA Salmun, Jembatan Merah, Jembatan Otto Iskandardinata dan Jembatan Sempur.


"Struktur bangunan Cagar Budaya Jembatan Otista, ada yang dibangun pada tahun 1930 yang merupakan Cagar Budaya dan ada stuktur yang dibangun pada tahun 1970,"ujar dia. 


"Saat itu pembangunan di tahun 1970 merupakan pelebaran jalan dari Jembatan Otista pada stuktur yang dibangun tahun 1930. Tentunya komponen bangunan Cagar Budaya pada Jembatan Otista itu harus dilestarikan, tetapi bangunan yang dibangun sejak tahun 1970 boleh dilakukan rehabilitasi ataupun direkontruksi. Dilebarkan atau ditambahkan, namun bangunan Cagar Budaya tidak boleh dihancurkan dan tetap harus dilestarikan," tegasnya.


Dyan menyebut, bangunan Cagar Budaya dari tahun 1930 tidak boleh dibongkar atau dihancurkan tanpa adanya kajian secara menyeluruh dan melibatkan berbagai pihak. Jadi ketika akan ada pembangunan pada Jembatan Otista, harus jelas dulu yang mana yang akan dibangun. 


"Untuk bangunan yang bukan Cagar Budaya diperbolehkan dibangun atau direkontruksi, tetapi bangunan cagar budaya tidak boleh dibongkar. Kecuali ada kajian-kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak," imbuhnya.


Sednagkan, lanjut Dayat, untuk komponen bangunan Cagar Budaya yang dibangun tahun 1930, apabila saat ini dilakukan pembongkaran jembatan Otista secara total, maka itu masuk kedalam pelanggaran Undang Undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010, sebab bangunan Cagar Budaya itu harus dilestarikan dan tidak boleh dilakukan pembongkaran.


"Wali Kota Bogor, Bima Arya belum melaksanakan Undang-undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010 dan Perwali nomor 17 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka. Siapa pun yang merusak apalagi membongkar Jembatan Otista yang dibangun pada tahun 1930 tanpa prosedur pelestarian Cagar Budaya adalah pelanggar Undang-undang dan Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2022," ujarnya.


Sementara itu, Kepala Disparbud Kota Bogor, Iceu Pujiati mengungkapkan bahwa Jembatan Otista masih diduga sebagai obyek Cagar Budaya. Walaupun dalam Perda dan Perwali nomor 17 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka, Jembatan Otista belum ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya bahkan belum ada penetapan secara SK atau Peraturan Walikota (Perwali) untuk cagar budaya pada Jembatan Otista tersebut.


"Jembatan Otista masih diduga sebagai obyek cagar budaya, karena belum ada kajian dari Tim Ahli Cagar Budaya serta belum ditetapkan oleh SK Wali Kota sebagai Cagar Budaya. Jadi belum ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya, sama dengan jembatan lainnya seperti Jembatan Merah, Jembatan Sempur, Jembatan MA Salmun," tandasnya.


Menurut Iceu, berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. "Dikatakan Pemerintah kabupaten/kota bekerja sama dengan setiap orang dalam melakukan pendaftaran, dan pada ketentuan Pasal 31 ayat (2) dikatakan Pengkajian terhadap hasil pendaftaran yang dimaksud pada ayat (1) bertujuan melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya," katanya.