PAPUA, CEKLISSATU - Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Pemuda Adat Papua, Hironimus Taime menyatakan, perang Hongi merupakan cara masyarakat Papua merebut atau mempertahankan wilayahnya.


"Sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat asli Papua,"ungkapnya, dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu 16 Nopember 2022.


Ia mengatajan, perang tersebut dapat berlangsung lama lantaran jika jatuh satu korban di pihak sebelah maka pihak lainnya akan berusaha membalas dengan jumlah korban yang sama. 


"Saat ini perang yang terjadi antara kelompok pro Papua Merdeka dengan Negara dalam hal ini Pemerintah RI terkait persoalan ideologi, wilayah kekuasaan, aset kekayaan alam, jati diri atau pengakuan status harga diri serta untuk melindungi komunitas,"jelasnya.

Baca Juga : Viral Wanita Petugas SPBU di Cianjur Dipiting Konsumen


Menurut Hironimus, sejak Kongres dan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dihadiri orang asli Papua dan Referendum PEPERA Tahun 1969 serta Resolusi PBB Nomor 2504 Tanggal 19 November 1969 versus Negara Papua Merdeka buatan Belanda, ada dua hal yang patut diakui.


Pertama, kemajuan luar biasa terjadi di Papua yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia. Baik di sektor pendidikan sampai di kampung-kampung sehingga membuat putra-putri asli Papua menjadi pintar. 


"Di bidang kesehatan, hadirnya klinik dan petugas medis di kampung dan distrik melayani kesehatan masyarakat. Bidang lainnya, hadirnya TNI, Polri, PNS yang banyak juga berasal dari anak-anak asli Papua serta profesi lainnya," ujarnya.


Di sisi lain, timbul korban jiwa akibat benturan 2 ideologi, yaitu NKRI Harga Mati versus Papua Merdeka.


Menurut pandangan Hironimus, ada beberapa jalan keluar yang bisa dipertimbangkan kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan di Bumi Cendrawasih. 


"Pertama, Pemerintah Indonesia harus mencetak Buku Sejarah keterlibatan orang asli Papua sejak Kongres dan Sumpah Pemuda, Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Referendum PEPERA Tahun 1969 dengan Resolusi PBB 2504, 19 November 1969 yang ditandatangani 84 negara anggota PBB, 30 negara abstain, 12 negara tidak hadir dan negara yang tidak setuju nihil, dan buku ini jadi kurikulum sekolah," jelasnya.


Kedua, kata dia, dilakukan sosialisasi secara luas pencapaian kemajuan berbagai aspek di Papua oleh Pemerintah Republik Indonesia secara berkala setiap semester.


"Buat imbauan tertulis secara resmi yang ditandatangani gubernur di Papua, Pangdam di Papua, Kapolda di Papua, Kepala Kejaksaan Tinggi di Papua, Ketua Pengadilan Tinggi di Papua, Ketua DPR Provinsi di Papua, Ketua Majelis Rakyat di Papua, Ketua Sinode di Papua, Ketua Lembaga/Dewan Masyarakat Adat di Papua, Ketua Organisasi Perempuan Provinsi di Papua dan Ketua Organisasi Pemuda Adat di Papua," tuturnya.


Surat imbauan itu ditujukan kepada kelompok yang berseberangan di seluruh Papua agar membaca sejarah Papua sebagai bagian dari sejarah Indonesia dan hukum internasional. Juga agar menyerahkan diri kembali bergabung dalam bingkai NKRI dalam batas waktu yang diputuskan bersama.


"Dalam surat imbauan dimaksud sudah tentu mendapat restu dan dukungan pemerintah pusat selaku pembuat keputusan tertinggi," ujarnya.


Surat imbauan tersebut, dibuat dalam bentuk selebaran dan disebarkan ke seluruh Papau baik di Kota maupun di pelosok, pesisir dan pulau untuk mendapat perhatian secara seksama.


"Sementara surat imbauan diedarkan secara luas maka pemerintah pusat dapat menahan pasukan TNI, Polri agar tetap menjadi garda terdepan menerima laporan masyarakat yang menyerahkan diri secara sadar bergabung kembali dalam NKRI," kata dia.


"Dengan adanya laporan masyarakat, pemerintah menyiapkan program permukiman kembali (Resetlemen) bagi saudara-saudari tersebut," tandasnya.