BOGOR, CEKLISSATU -  Jaringan Indonesia Positif (JIP) mengklaim bahwa tes viral load (VL) HIV yang merupakan tes darah sangta penting untuk mengukur keberhasilan orang dengan HIV dalam menjalankan pengobatan

Hal itu diungkapkan Advocacy Specialist program Advocate For Health Jaringan Indonesia Positif, Timotius Hadi saat media brief di Hotel Grand Savero Bogor, Kecamatan Bogor Tengah pada Rabu, 30 Agustus 2023 serta dihadiri awak media.

Menurutnya, memang ada kesulitan dalam mengakselerasi tes VL karena distribusi reagent yang tidak merata. "Jadi kadang teman-teman di lapangan jadi berebut, dan kriteria yang dapat menerima tes VL tersebut juga sangat subyektif dari petugas kesehatan disana. Kadang yang rajin datang ambil obat dan sudah lama, justru tidak kebagian. Padahal tujuan tes ini kan untuk melakukan monitoring," ucapnya.

Baca Juga : Dukung Konvensi Humas Indonesia 2023, PERHUMAS BPC Bogor Gelar Diskusi Peran PR Dalam Pengembangan Usaha dan Industri

Adapun dari sisi pembiayaan, sambungnya, tes ini juga masih dirasa sangat mahal. Jika dibanding dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Jika upaya-upaya akeselerasi itu dilakukan, maka ada optimisme untuk mencapai 'Ending AIDS' pada 2030. 

"Hanya saja sekarang diperlukan peran berbagai pihak untuk menyukseskan upaya ini, baik dari sisi penyedia layanan, LSM, komunitas dan juga orang dengan HIV, termasuk peran aktif stakeholder terkait yang dapat menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman agar orang dengan HIV dapat mengakses tes VL," tegasnya.

Sedangkan untuk keberlanjutan program, masih kata Hadi, pemerintah diharapkan dapat menambah jumlah kuota tes HIV di layanan kesehatan dan menekan pembiayaan tes VL HIV agar lebih terjangkau dengan pembebanan biaya VL melalui BPJS atau melalui dukungan pendanaan APBD daerah. 

Sementara itu, tes VL dilakukan secara rutin setiap 6 bulan atau minimal dilakukan 1 kali dalam setahun karena durasi pengobatan HIV dilakukan seumur hidup. 

Tujuan dari hasil tes ini untuk melihat apakah pengobatan berjalan efektif atau tidak dan dilakukan dengan mengukur kadar atau jumlah virus HIV dalam diri orang dengan HIV. Jika hasil tes VL menunjukkan pengobatan ARV pada orang dengan HIV tidak berjalan dengan baik, hal ini dapat menjadi dasar bagi dokter untuk menentukan pengobatan selanjutnya. 

Pemerintah berkomitmen untuk mengakhiri AIDS di tahun 2030 dikenal dengan 'Ending AIDS' 2030 merujuk pada komitmen global dengan menggunakan indikator
95-95-95. Indikator 95-95-95 menyebutkan bahwa pertama, 95 persen orang yang diperkirakan hidup dengan HIV akan mengetahui status HIV-nya (testing).

Kedua, 95 persen orang yang telah mengetahui status HIV mendapatkan pengobatan ARV dan perawatan HIV, serta 95 persen orang yang telah mendapatkan terapi ARV mengalami supresi virus yang dapat diketahui melalui tes VL. 

Ketiga, indikator tersebut masuk dalam kebijakan Peraturan Kementerian Kesehatan RI Nomor 23 tahun 2022 tentang penanggulangan HIV dan IMS. 

"Pemerintah berkomitmen dalam menyediakan pengobatan ARV dalam rangka untuk mendorong jumlah virus dalam tubuh orang dengan HIV dapat tersupresi sehingga berdampak pada penularan HIV yang lebih rendah," jelasnya.

Berdasarkan indikator di atas, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan angka cakupan tes HIV, angka pengobatan ARV dan tes VL untuk mengakselerasi keberhasilan program penanggulangan HIV. Berdasarkan hasil yang dipaparkan Kementerian Kesehatan RI per Desember 2022, indikator 95 persen pertama saat ini baru tercapai 81 persen.

"Adapun indikator 95 persen kedua baru tercapai sebanyak 42 persen dari temuan 95 pertama. Terakhir, indikator 95 persen ketiga, baru 20 persen yang mendapatkan tes VL dari temuan 95 kedua," paparnya.

Oleh karena itu, saat ini pemerintah bersama dengan LSM dan masyarakat terus berupaya melakukan akselerasi dalam meningkatkan capaian 95-95-95. Beberapa diantaranya dengan melakukan skirining berbasis komunitas, menyediakan pengobatan ARV dengan rejimen yang lebih sederhana termasuk membuka penganggaran APBD daerah untuk dapat mendukung program nasional dalam penanggulangan HIV.

Stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan terbesar dalam penanggulangan HIV di Indonesia. Masyarakat masih takut untuk melakukan tes HIV, takut diketahui status HIV-nya dan takut datang ke layanan HIV untuk mendapatkan pengobatan

Adanya informasi yang salah terkait dengan HIV di masyarakat, membuat stigma dan diskriminasi sulit dihilangkan. Bentuk-bentuk stigma yang terjadi juga beragam, misalnya pengusiran dari lingkungan sosial dengan alasan bahwa masyarakat sekitar yang menolak, pemberhentian dari pekerjaan karena kualitas kinerja dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. 

"Pencapaian indikator 95-95-95 harus menjadi tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat. Memastikan tersedianya lingkungan yang nyaman dan aman bagi orang dengan HIV, menyediakan kemudahan akses layanan kesehatan, bekerja, berkeluarga dan melakukan aktifitas lainnya, sehingga bisa mendorong orang dengan HIV tetap produktif buat masyarakat dan lingkungan sekitar," ungkapnya.

Pemerintah Indonesia telah menyediakan tes VL sejak beberapa tahun lalu, hanya saja jumlah tes yang tersedia sangat terbatas. Pada 2023 terdapat penambahan kuota tes VL dengan harapan dapat mendorong capaian 95 persen ketiga. 

Melalui Surat Edaran Dirjen P2P No PM.02.02/C/2980/2023 tentang Percepatan Pemeriksaan Viral Load HIV Tahun 2023, pemerintah berkomitmen dalam meningkatkan penyediaan tes VL, diantaranya
penentuan target capain tes VL sebanyak 70 persen pada 2023, penambahan layanan tes VL di beberapa Puskesmas. 

"Kemudahaan tes VL di berbagai tempat sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam surat edaran di atas. Strategi ini merupakan pendekatan yang baik untuk mendorong orang dengan HIV untuk tetap dalam perawatan sehingga
penularan HIV dapat ditekan. Meski demikian, di beberapa layanan Kesehatan, kuota tes VL terbatas, biaya tes VL HIV masih cukup mahal dan saat ini belum ada dukungan
dari BPJS," katanya.