JAKARTA, CEKLISSATU - Pelaksanaan pemilu di luar negeri sangat rawan penggelembungan suara. Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, metode kotak suara keliling dan metode pos paling rawan untuk pemungutan suara bagi WNI di luar negeri.

"Yang paling banyak masalah metode kotak suara keliling dan metode pos. Perlu diketahui kotak suara keliling ini terobosan untuk memfasilitasi pemilih pada negara yang mempunyai banyak pekerja migran Indonesia,” kata Rahmat Bagja dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu 21 Januari 2023.

Bagja mengatakan, pemilu di luar negeri menggunakan tiga metode pemungutan suara, yakni metode tempat pemungutan suara (TPS), kotak suara keliling, dan metode pos.

Kotak suara keliling, menurut dia, rentan atas dokumen ganda seperti penggunaan paspor dan kartu pekerja.

"Menurut saya, kotak suara keliling ini masih relevan sampai sekarang dengan perlunya penguatan pengawasan," ucap dia.

Berikutnya, dia mengatakan, kemungkinan masalah menggunakan metode pos paling banyak akibat pemilih yang mengambil dua metode sekaligus, yakni mencoblos di TPS yang biasanya ada di kedutaan besar sekaligus memilih menggunakan metode pos.

"Kadang-kadang (sebagai contoh ada pemilih dari kalangan) mahasiswa (di luar negeri) itu terdaftar di dua (metode) pos dikirim dua minggu sebelum hari pemungutan suara," ujar Bagja.

Selain itu, permasalahan lain, menurut dia, biasanya berasal dari daftar pemilih tetap (DPT), termasuk persoalan pakai paspor atau tidak.

Bagja mengatakan, dari pengalaman pemilu sebelumnya, di Malaysia paspor ditahan oleh pengusaha sehingga pekerja migran hanya mempunyai kartu pekerja.

Kemudian, alamat domisili juga sering pula menjadi masalah di negara yang banyak pekerja migran.

"Dulu, ada kasus di Kuala Lumpur, satu alamat untuk sekitar 500 pemilih untuk satu tempat alamat, sehingga kesulitan dalam mengirimkan formulir undangan (C-6)," ujar dia.

Meski begitu, Bagja meyakinkan, negara melalui upaya pemerintah dan penyelenggara pemilu sangat kuat untuk menjamin hak pilih.