BOGOR, CEKLISSATU - Forum Cinta NKRI Bogor menyikapi dan menyoroti Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Non-Yudisial.

Menurut Pembina Forum Cinta NKRI Bogor, Abdul Khalim, Keppres Nomor 17 Tahun 2022 yang diterbitkan Presiden Jokowi pada 27 Agustus 2022 itu dinilai normatif karena ada kalimat Non-Yudisial. 

"Seharusnya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat itu harus Yudisial, harus melalui proses Pengadilan HAM, karena di pengadilan akan terbuka siapa yang menjadi korban dan siapa yang melakukan (pelaku) tindakan pelanggaran HAM tersebut. Nah ini kan tidak jelas, makanya kami menyoroti isi dari Keppres nomor 17 tahun 2022 yang menyebutkan penyelesaian pelanggaran HAM Berat Non-Yudisial itu," katanya kepada awak media pada Sabtu, 1 Oktober 2022 usai acara Pernyataan Sikap Forum Cinta NKRI Bogor di Hari Kesaktian Pancasila yang dihadiri ratusan utusan dari berbagai  Majelis Taklim, aktifis dan pengurus Ormas se-Bogor, di Masjid Alumni Baranangsiang Bogor.

Dengan terbitnya Keppres tersebut, Ia pun mengingatkan kembali kepada pemerintah bahwa negara berkewajiban melaksanakan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Penyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninumisme.

"Ibaratnya kalau ada santunan tapi hubungannya dengan komunis/marxisme-Leninumisme itu bertentangan dengan TAP MPRS, dan perlu kami sampaikan bahwa TAP MPRS ini masih berlaku. Jadi, kami secara tegas menolak Keppres 17 tahun 2022 ini, dan kami minta untuk dibatalkan," tegasnya.

Sebab, lanjutnya, Keppres 17 tahun 2022 ini akan memunculkan ketidakjujuran misalnya seorang pelaku tetapi mengakunya sebagai korban dan prosesnya cukup dengan ganti rugi. Inikan tidak jelas, seharusnya Keppres itu yang Yudisial, melalui mekanisme pengadilan HAM, dimana didalamnya itu ada saksi, ada kronologi yang dijelaskan, ada yang menuntut juga dan lain sebagainya, sehingga nantinya jelas ada pembuktian siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku.

"Jadi kalau alurnya seperti hal tersebut maka bertentangan dengan negara kita yang berlandaskan hukum. Kalau hukum kan ketetapannya pengadilan," ungkapnya.

IMG-20221001-WA0017.jpg
Forum Cinta NKRI Bogor (dok. Taufik/ceklissatu)

Sementara itu, Biro Hukum Forum Cinta NKRI Bogor, Endy Kusuma Hermawan menegaskan kalau Keppres itu Non-Yudisial pihaknya keberatan, karena Non-Yudisial itu diluar lembaga hukum. 

"Jadi keputusannya itu bukan keputusan majelis hakim tapi mungkin keputusannya menjadi keputusan politik dan ini menurut kami terlalu subjektif, parameternya enggak jelas untuk menentukan siapa yang menjadi korban. Disitu hanya berbicara korban, sementara pelakunya tidak disinggung," ujarnya.
 
Selain itu, di Keppres 17 tahun 2022 itu berpotensi mengaburkan  pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang katakanlah pernah ditangani oleh Komnas HAM dan sudah disampaikan oleh Kejaksaan Agung tetapi tidak diproses oleh Kejaksaan Agung karena kurang bukti dan tidak ada saksi kunci dan sebagainya, sehingga proses itu tidak berjalan, tidak ditindaklanjuti kepada Peradilan HAM. 

"Peradilan HAM itu diatur di dalam Undang Undang nomor 26 tahun 2000. Nah ini yang kita inginkan seperti itu, jadi supaya jelas siapa pelakunya dan siapa korbannya," kata Endy. 

Bahkan, sambung Endy, di tahun 2015 lalu pernah ada wacana bahwa pemerintah akan meminta maaf kepada PKI atau kepada anak cucunya dan itupun berdasarkan rekomendasi Komnas HAM, dan ini sudah menjadi kegaduhan kala itu. 

"Kita seharusnya menata masa depan, tetapi kita masih disibukkan dengan persoalan-persoalan masa lalu, dan ini merupakan janji-janji kampanyenya Presiden Jokowi di periode pertama dan rupanya ini akan mulai diwujudkan oleh Jokowi di sisa masa jabatannya di periode kedua," jelasnya. 

Kemudian, lanjut Endy, berkenaan hasil laporan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung ada 13 pelanggaran HAM berat, diantaranya yang pertama peristiwa tahun 1965, kemudian peristiwa Talang Sari, Semanggi 1, Semanggi 2, Kerusuhan Mei 98, lalu di Papua ada dua peristiwa, peristiwa di Aceh juga, peristiwa Tanjung Priok yang ada dua versi termasuk kasus Munir. 

"Nah ini harus diungkap itu kasus Munir, tetapi faktanya tidak diungkapkan secara tuntas, secara logika di kasus Munir itu apa hubungannya seorang pilot membunuh penumpangnya. Jadi ini ada yang terputus perencananya siapa, aktor intelektualnya siapa dan yang memerintahkannya siapa," bebernya. 

"Jadi dari semua itu, kesimpulannya kami dari Forum Cinta NKRI Bogor menginginkan seharusnya Keppres ini melalui Yudisial, supaya jelas siapa pelakunya dan siapa korbannya," tutupnya, yang diamini oleh Ustadz Wiliyuddin Abdul Rashid Dhani sebagai Pembina Forum Cinta NKRI Bogor dan  Mizardi Amir selaku Ketua.