BOGOR, CEKLISSATU - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor menolak isi aturan di Pasal 415 dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang ancaman pidana bagi pasangan belum menikah yang check in atau menginap di hotel.

"Kami menolak lah, sebab itu berpotensi menurunkan tingkat hunian atau keterisian kamar di hotel," ucap Ketua PHRI Kota Bogor, Yuno Abeta Lahay kepada Ceklissatu.com pada Rabu, 26 Oktober 2022.

Menurut Yuno, selain berpotensi dapat menurunkan tingkat hunian, ancaman pidana dalam pasal RKUHP tersebut bisa merusak citra pariwisata Indonesia dimata mancanegara.

"Ya paling utama memang image pariwisata kita dimata asing akan jelek karena itu ranah privat. Seharusnya pemerintah membuat aturan sewajarnya aja dan jangan sampai membuat image negatif dimata international," katanya.

Adapun aturan yang tertuang di Pasal 415 RKUHP menjadi perbincangan di tengah masyarakat dalam beberapa hari terakhir. Pasalnya rancangan aturan itu mengatur mengenai pasangan belum menikah yang berpotensi dipidana jika menginap di hotel.

Pasal 415 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan semua atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II."

Sementara itu, Pasal 415 ayat (2) menyatakan, Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. orang tua atau anaknya bagi yang tidak terikat perkawinan.

Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries menilai polemik itu muncul karena belum ada pemahaman yang utuh dari publik termasuk kalangan Apindo.

Albert menjelaskan pengaturan tindak pidana perzinaan (Pasal 415 RKUHP) dan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan/kohabitasi (Pasal 416 RKUHP) dimaksudkan untuk menghormati dan melindungi lembaga perkawinan, yang diatur sebagai delik aduan (klach delicten) di RKUHP.

"Yaitu pengaduannya hanya dapat diadukan oleh suami/istri bagi mereka yang terikat perkawinan atau orang tua/anak bagi mereka yang tidak terikat perkawinan," terang Albert.

"Sehingga tidak akan pernah ada proses hukum terkait perzinaan atau kohabitasi tanpa adanya pengaduan dari pihak yang berhak dan dirugikan secara langsung," sambungnya.

Ia menambahkan kewenangan dari kepala desa atau sejenisnya untuk mengadukan tindak pidana perzinahan atau kohabitasi telah dihapus dari draf RKUHP sebelumnya.

"Dengan kata lain, ruang privat seseorang justru menjadi terlindungi oleh hukum pidana karena masyarakat atau pihak ketiga lainnya tidak bisa melakukan pelaporan ke pihak yang berwajib, dan juga tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri (persekusi)," kata Albert.