JAKARTA,CEKLISSATU - Pemerintah Libya timur memerintahkan wartawan untuk keluar dari Kota Derna pada Rabu 20 September 2023 setelah para demonstran menggelar aksi demo dan membakar rumah walikota yang digulingkan karena kegagalan otoritas pemerintahan melindungi kota dari banjir.

Menteri Penerbangan Sipil, Hichem Abu, mengatakan kepada Reuters bahwa keputusan untuk mengusir wartawan dari kota itu tidak terkait dengan aksi protes yang berlangsung semalam.

"Ini adalah upaya untuk menciptakan kondisi lebih baik bagi tim penyelamat untuk melaksanakan pekerjaan mereka lebih mudah dan efektif," katanya. 

"Jumlah besar wartawan telah menjadi hambatan bagi kerja tim penyelamat".

Pada Senin, para demonstran memadati di alun-alun di depan masjid Sahaba berkubah emas yang terkenal di Derna sambil meneriakkan slogan-slogan. Beberapa orang melambaikan bendera dari atap masjid.

Kemudian sore harinya, para demonstran mengerumuni dan membakar rumah walikota Abdulmenam al-Ghaiti, demikian menurut manajer kantor walikota kepada Reuters.

Pemerintahan yang mengatur Libya timur mengatakan Ghaithi telah dicopot sebagai walikota dan seluruh anggota Dewan Kota Derna dibebaskan dari posisinya dan tengah diselidiki.

Sepekan setelah bencana, sebagian besar Derna tetap berada dalam kondisi berlumpur, di mana para warga masih mencari anggota keluarga di reruntuhan.

Libya telah menjadi negara yang gagal selama lebih dari 10 tahun, dan tidak ada pemerintahan yang menguasai seluruh wilayah sejak Muammar Gaddafi digulingkan di 2011.

Derna dikontrol sejak 2019 oleh Tentara Nasional Libya yang memegang sebagian besar wilayah timur. Selama beberapa tahun sebelumnya, wilayah itu dikuasai oleh grup militan termasuk cabang lokal dari Islamic State dan al Qaeda.

Para demonstran mengecam ketua parlemen yang berbasis di wilayah timur Aguila Saleh yang menyebut banjir adalah bencana alam yang tidak dapat dihindari.

"Aguila, kami tidak menginginkan kamu! Seluruh warga Libya adalah saudara!" teriak pengunjuk rasa.

Mansour, seorang siswa yang ikut dalam protes mengatakan ia menginginkan penyelidikan segera dilakukan terhadap runtuhnya bendungan yang "membuat kami kehilangan ribuan orang tercinta".

Taha Miftah (39) mengatakan aksi protes itu adalah pesan bahwa "pemerintah telah gagal menangani krisis", dan parlemen adalah terutama yang harus disalahkan.

Jumlah total korban tewas belum dipastikan dan ribuan orang masih dinyatakan hilang. Para pejabat memberikan informasi mengenai jumlah korban tewas dengan angka yang sangat bervariasi, sedangkan Badan Kesehatan Dunia WHO mengkonfirmasi 3.922 korban tewas.