BOGOR, CEKLISSATU - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) menjadi Undang-Undang (UU). Salah satu poin utama yang diatur dalam UU KIA ini adalah mengenai kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Ibu hamil kini memiliki hak perpanjangan cuti hingga enam bulan yang sebelumnya hanya berjumlah tiga bulan.

Momen penting tersebut juga turut direspons oleh Pakar Keluarga IPB University, Prof Euis Sunarti. Menurutnya, peresmian UU KIA ini menjadi angin segar bagi para perempuan yang ingin berkiprah di dunia kerja. Selain itu, adanya UU KIA ini menjadi bukti kehadiran negara dalam menjamin hak dan kesejahteraan bagi ibu dan anak.

“Melihat dari prinsipnya, sudah sepatutnya semua pihak setuju. Seperti perusahaan besar (swasta) dan perusahaan negara, wajib untuk menjamin hak dan kesejahteraan bagi pekerja perempuan yang hamil dan melahirkan,” ujar Prof Euis saat diwawancara oleh Radio Idola Semarang (6/6).

Baca Juga : Hadapi PON 2024, Tim Balap Motor DKI Jaya Didampingi Psikolog dan Ahli Gizi

Secara spesifik, Prof Euis menyoroti mekanisme pelaksanaan aturan pemberian cuti melahirkan 6 bulan, dengan 4 bulan gaji dibayar penuh dan 2 bulan gaji dibayar 75%. “Memang aturan ini perlu ditaati semua pihak, tetapi kita tidak boleh menutup mata bahwa masih banyak usaha kecil bahkan juga menengah yang dengan kondisi tertentu, yang ternyata tidak memungkinkan menjalankan aturan ini sepenuhnya,” ungkapnya.

Pakar Keluarga IPB University ini juga menyinggung bahwa usaha dengan skala kecil dan menengah masih banyak dijumpai di Indonesia dengan berbagai kondisi. Dinamika tersebut menggambarkan bahwa perlu adanya standar kelayakan dan pengawasan suatu usaha yang dinilai harus menaati UU KIA ini.

“Idealnya, ada perwakilan dari perusahaan dan pemerintah yang menilai dan mengawasi praktik UU KIA ini di lapangan agar tidak merugikan pihak mana pun, termasuk kepada pekerja perempuan dan keluarganya.  Jangan sampai UU ini malah mendatangkan pesan bahwa mempekerjakan perempuan itu merepotkan dan merugikan. Bahkan, jangan sampai muncul mekanisme perekrutan dan perjanjian kerja secara informal atau di bawah tangan, bahwa pekerja perempuan tidak hamil sampai masa kerja tertentu”  pungkas Prof Euis.