JAKARTA, CEKLISSATU - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.

Larangan itu tertulis dalam Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, yang berlaku mulai 13 September 2022.

Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana mengatakan, larangan tersebut tidak berlaku untuk beberapa pembangunan PLTU. Salah satunya, PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya perpres ini.

"Dengan teknologi yang kita pahami saat ini, PLTU yang menggunakan batu bara merupakan pembangkit listrik yang menghasilkan emisi, maka kita stop untuk pembangunan pembangkit baru, tetapi perekonomian tidak boleh terganggu dengan upaya-upaya ini," kata Dadan dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Sabtu 24 September 2022.

Menurut dia, pembangunan pembangkit saat ini dan masa mendatang akan mengarah ke green industry. Secara ekonomi akan jadi lebih baik, atau dalam jangka mikronya tidak akan mengurangi apa yang diperlukan sekarang. Dia menegaskan masyarakat juga tak perlu khawatir akan kekurangan listrik.

Baca Juga : Dituduh Akan Tabrak Pasukan Israel, Guru di Palestina Ditembak Mati

"Berdasarkan Perpres 112 tahun 2022 bahwa pembangunan pembangkit listrik akan dilakukan secara selektif dan pembangunan pembangkit bersumber dari EBT ditargetkan berjalan beriringan," katanya.

Lebih lanjut, dia menuturkan pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini atau bagi PLTU yang memenuhi persyaratan.

Adapun persyaratan yang dimaksud antara lain, terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2O21 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan.

"Ketiga beroperasi paling lama sampai dengan 2050," tambahnya.

 Untuk diketahui, penghentian dan pembangunan PLTU secara selektif merupakan salah satu program untuk memenuhi komitmen penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% di tahun 2030, atau bisa lebih tinggi dengan kerja sama dengan pihak internasional, serta mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.