JAKARTA, CEKLISSATU - Sekitar 90 hari lagi, Indonesia akan menyambut pemimpin baru. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2024. Sebagai nahkoda baru Indonesia, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuning Raka akan menghadapi tantangan yang tidak mudah.

Salah satu tantangan serius itu adalah masalah kepercayaan publik, yang tercederai oleh berbagai peristiwa sebelum pelaksanaan pemilu. Sosok Gibran sebagai yang lolos oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh pamannya sendiri, menjadi memori kelam. Manuver politik juga dilakukan ayahnya, Presiden Joko Widodo, dipandang publik telah menghancurkan esensi wisdom dan moralitas dalam kepemimpinan.

Saat artikel ini disusun, anak bungsu Joko Widodo, Kaesang Pangarep tengah bersiap mengincar posisi gubernur atau wakil gubernur. Sementara menantu Presiden, Bobby Alif Nasution, bersiap merebut posisi nomer satu di Provinsi Sumatera Utara. Demokrasi sejatinya menjunjung prinsip equalty namun mengalami kontradiksi dengan menguatnya politik kekerabatan.


Di lain pihak sisa beberapa bulan di akhir masa kekuasaan Joko Widodo juga diwarnai dengan kisah teruk. Tiga pemimpin lembaga demokrasi tersungkur dengan kasus berbeda. 

Anwar Usman lengser dari posisi Ketua MK tak lama setelah meloloskan keponakannya, Gibran sebagai calon wakil presiden. Hasyim Asy’ari diberhentikan dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena tersandung kasus asusila. Dan Firli Bahuri harus meninggalkan posisi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terpeleset dugaan gratifikasi dan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo.

Baca Juga : Dishub Kota Bogor Targetkan Pengurangan Angkot hingga 2.000 Unit Diakhir 2024


Sejalan dengan itu, dalam catatan lembaga-lembaga internasional, rapor demokrasi kita lebih banyak jeblok. Merujuk data Economist Intelligence Unit (EIU), trend indeks demokrasi Indonesia tidak istimewa. Dari level 7,03 (2015) terus menukik ke titik terendah pada skor 6,30 (2020). Transparansi Internasional mencatat indeks Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 2023 menurun, dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai indikator paling lemah.
Maka kita patut bertanya, ada apa dengan demokrasi kita? Jangan-jangan kita sudah berpaling dari demokrasi?
Paska demokrasi
Transisi politik yang berjalan damai paska-Orde Baru, telah menumbuhkan harapan akan berkembangnya demokrasi di Indonesia. Diramalkan bakal jatuh dalam tubir disintegrasi, nyatanya negara multietnik dengan populasi lebih 270 juta ini sanggup melembagakan sistem peralihan kekuasaan yang tertib dan periodik melalui pemilu.


Sirkulasi kekuasaan lima tahunan, pemilu yang terjadwal rapi, beroperasinya lembaga-lembaga demokrasi, nyatanya tidak setali tiga uang dengan tegaknya demokrasi. Professor ilmu politik dari Universitas Warwick Colin John Crouch mengingatkan tentang pergeseran negara demokrasi menjadi negara paska-demokrasi (post-democracy).

Ada tiga indikasi penting sebuah negara demokrasi bergeser menjadi paska-demokrasi. Pertama, bila elite politik yang terpilih berdasarkan mandat rakyat, lebih banyak mengakomodasi kepentingan oligarki, kelompok, atau kepentingan lain yang lebih eksklusif, daripada kepentingan rakyat. 

Tentu, relasi elite-oligarki tidak simsalabim terjadi begitu saja. Secara alamiah mereka memiliki kebutuhan timbal balik. Oligarki berkepentingan melanggengkan penguasaan ekonomi. Elite memerlukan dukungan kapital dan akses ekonomi untuk pencapaian tujuan dan pemenuhan biaya politik. Demikian kuat ikatan mereka, sering tidak mudah bagi kita membedakan satu dengan yang lain. 

Seorang taipan yang secara genealogis oligark, namun menduduki posisi kekuasaan formal. Seorang politisi ulung, bisa jadi mengendalikan bisnis berskala besar, baik sebagai pemilik maupun pemegang saham.


Kedua, terkait ekstensifitas. Dalam negara paska-demokrasi, distorsi tidak hanya berlangsung di puncak piramida kekuasaan. Pola-pola yang kurang lebih serupa dapat ditemukan di hampir semua level dan sektor: di tubuh partai politik, di dalam birokasi negara, lembaga penegak hukum, pemerintahan lokal, lembaga non-struktural dan ad hoc.


Kinerja lembaga penegak hukum menjadi perhatian penting. Di bawah konspirasi elite-oligarki, ia dikooptasi untuk menjadi instrumen pelindung sekaligus alat penekan bagi kelompok kritis dan lawan politik.


Ketiga, karena aktor dan kelembagaan telah mengidap simptom paska-demokrasi, maka kebijakan yang dirumuskan juga mencerminkan watak mereka. Wujudnya bisa berupa kebijakan nihil dialog yang merugikan kaum buruh atau masyarakat adat, impor bahan baku/mentah di tengah kecukupan stok dalam negeri, eksploitasi sumber daya alam, atau juga minimnya dukungan serta keberpihakan terhadap kebutuhan dasar rakyat.


Dengan demikian, di negara paska-demokrasi, kebajikan (virtue) sebagai nilai esensial dari demokrasi telah hilang, yakni partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan, kebebasan, dan keleluasaan akses rakyat pada hak dasar. Padahal secara moralitas, seharusnya kedudukan politik para elite merupakan mandat rakyat melalui kontrak suci: kekuasaan sebagai daulat rakyat. 


Namun yang terjadi, relasi penguasa-rakyat merosot di tingkat prosedural, seremonial, teknikal, teatrikal, dan sesaat.

Elite menyapa rakyat hanya saat pemilu tiba. Mendadak kita menyaksikan figur publik blusukan ke pasar, tidur di rumah warga, makan nasi aking, atau bahkan rela masuk gorong-gorong.


Dari potret singkat berbagai persoalan di awal tulisan, dapat dikatakan, demokrasi di Indonesia banyak melekat ciri-ciri negara paska-demokrasi. Sekitar satu dekade terakhir, kita dapat menemukan berbagai paradoks. 


Pemerintah menyatakan pertumbuhan ekonomi cukup baik dan optimistis di tengah ketidakpastian global. Di sisi lain, jurang kaya-miskin masih terbentang lebar dengan rata-rata koefisien gini 0,40-0,38. Pembangunan menghasilkan konsentrasi kekayaan pada 10 persen populasi yang menguasai 70 persen kekuatan ekonomi nasional. 


Tata kelola yang salah telah mencederai prinsip keadilan sesuai amanat konstitusi. Tingginya harga kebutuhan pokok terus membebani pengeluaran keluarga miskin. Di kawasan terluar, tertinggal dan terpencil (3T), sesama anak bangsa masih bergelut dengan sulitnya aksesibilitas, keterbatasan sarana pendidikan dan layanan kesehatan yang tidak memadai.

Aliansi strategis
Di tengah inersia lembaga demokrasi, tekanan terhadap publik makin bertambah dengan menguatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Akibat pandangan dan sikap kritis mereka, pegiat pro-demokrasi, aktivis dan jurnalis menjadi sasaran penyadapan dan doxing. Alih-alih negara hadir, nahkoda lembaga penegak hukum justru tersandung masalah hukum, terjerat masalah moral dan etika. Meminjam istilah Crouch lembaga negara hanya tinggal seonggok cangkang (a formal shell).


Lebih dua dekade paska-reformasi, konsolidasi demokrasi kita gegap gempita pada aspek prosedural dan belum menyentuh substansi. Ganjalan utamanya pada elemen oligarki warisan Orde Baru yang masih kuat berkelindan dengan elite. Namun berharap sepenuhnya pada kelas menengah sebagai roda pendobrak tidak sepenuhnya realistis. Istilah kelas menengah lebih berorientasi pada fakta sosiologis, ketimbang politis apalagi ideologis.
Lebih produktif bila kita fokuskan ikhtiar untuk terus memperkuat aliansi strategis antar-elemen perubahan yang tersebar di tengah-tengah masyarakat. Di berbagai profesi dan struktur sosial bisa ditemukan spirit pembaruan, apakah di kampus, perserikatan buruh, organisasi pemuda, dunia usaha, dan organisasi profesi lain.


Ditulis oleh:
Koesworo Setiawan
Dosen FISIP Universitas Djuanda