Hampir satu bulan purnama pergelaran lomba paling besar se-Jawa Barat (Jabar) digelar. Ya, Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Barat ke empat belas ini berhasil menyita banyak sorotan mata warga Jabar. Bukan hanya karena digelar di 9 daerah, namun berbagai prestasi dari pahlawan olahraga dari berbagai Kota dan Kabupaten terus ditorehkan. Gegap gempita hingga sorak sorai di setiap arena hingga dunia maya selalu dihiasi dengan dukungan dan kemenangan. 

Meski demikian, ada yang menarik bagi Ceklissatu.com, yakni minimnya prestasi Lari dari Kota yang sudah mengatasnamakan dirinya sebagai The City of Runner atau Kota Pelari. Bukannya berlari kencang lalu mendapatkan medali, prestasi atlet lari dari Kota Pelari itu justru minim. Bahkan hanya menyumbangkan satu emas saja. 

Meski demikian, segala upaya dan perjuangan dari atlet lari tersebut perlu kita berikan apresiasi setinggi-tinginya. Mereka sudah berlatih. Mereka sudah berjuang. Luar biasa.

Yang menarik bagi kami adalah bagaimana bisa Kota yang mendeklarasikan dirinya sebagai kota pelari justru minim prestasi. Bagi kami, slogan kota pelari bukan hanya sekedar jualan kecap manis saja, melainkan sebuah upaya City Branding atau janji dari sebuah kota. 

Bagi sebagian orang, mungkin City Branding hanya berupa pemanis promosi dari sebuah kota untuk mendatangkan wisatawan dan meraup keuntungan, tapi jauh dari itu City Branding adalah janji yang harus ditepati. 

Bila berbicara sebagai kota pelari, berarti hampir semua warganya harus beraktivitas berlari baik pagi siang atau petang. Memiliki berbagai kegiatan berlari. Didukung oleh fasilitas berlari dan dilindungi oleh peraturan-peraturan yang mendukung ekosistem lari. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah prestasi dari cabang olahraga lari itu sendiri. 

Sejenak kami ajak Anda ke Majalengka, sebuah Kabupaten yang berada di utara itu tengah berupaya memperkenalkan kotanya sebagai Kota Terakota, lalu apa yang mereka lakukan, dari mulai aktivitas warganya, unit bisnisnya, ikon-ikon kotanya bahkan Peraturan Daerahnya mendukung terwujudnya Majalengka sebagai Kota Terakota. 

Bicara event, sudah jangan ditanya, mereka punya rampak genteng, binaragawan genteng dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mewujudkan Majalengka sebagai Kota Terakota. Mengapa demikian? Karena upaya tersebut datang dari warganya atau bottom up. 

Lalu bagaimana dengan Kota Pelari itu? Apakah jangan-jangan hanya nafsu sang kepala daerahnya saja? Agaknya perlu dievaluasi dan masyarakat perlu sadar bahwa kotanya sedang diperkenalkan dengan sebuah nilai yang keluar dari jati diri mereka. 

Masyarakat perlu aktif dalam berdiskusi dan menentukan arah kotanya dan bukan hanya janji politik yang memiliki masa bakti. Masyarakat perlu bersama-sama dalam menyusun mimpi bersama. 

Dan yang tidak boleh dilupakan, tujuan dari City Branding bukan hanya to visit, melainkan ada to study, to live hingga to invest. 

Jadi, layaknya Kota Pelari itu dinamakan sebagai kota apa?