JAKARTA, CEKLISSATU - Para ilmuwan telah menemukan kembali spesies mamalia yang telah lama hilang dan digambarkan memiliki tulang punggung landak. Trenggiling dan pangkalan operasinya, di Pegunungan Cyclops di Indonesia lebih dari 60 kali sejak terakhir kali tercatat.

 

Echidna berparuh panjang Attenborough, yang diberi nama berdasarkan nama naturalis Inggris David Attenborough, dirampok untuk pertama kalinya sejak tahun 1961 oleh kamera jejak pada hari terakhir dari perjalanan empat minggu yang dipimpin oleh para ilmuwan Universitas Oxford pada bulan Juni dan Juli.

 

Seperti dilansir dari The Guardian, setelah turun dari pegunungan di akhir perjalanan, ahli biologi James Kempton menyiapkan gambar makhluk kecil yang berjalan melewati dedaunan kayu pada kartu memori terakhir yang diambil kembali dari lebih dari 80 kamera jarak jauh.


“Rasanya sangat terpukul, dan juga rasa lega setelah menghabiskan waktu begitu lama di lapangan tanpa bayaran hingga hari terakhir,” katanya, menggambarkan saat pertama kali dia melihat rekaman tersebut bersama kolaborator dari kelompok konservasi Indonesia Yappenda.


Echidna mengambil nama mereka dengan seorang wanita setengah ular, makhluk mitologi Yunani setengah ular, dan digambarkan oleh peleton sebagai pemalu, penghuni liang malam yang terkenal sulit ditemukan.


“Alasan kenapa hewan terlihat sangat berbeda dengan mamalia lainnya karena ia adalah anggota monotremata,” kata Kempton.


Spesies ini baru tercatat secara ilmiah sebelumnya, oleh seorang ahli botani Belanda pada tahun 1961. Spesies echidna yang berbeda ditemukan di seluruh Australia dan dataran tinggi New Guinea.

 

Peleton Kempton selamat dari gempa bumi, malaria, dan bahkan pengisap darah yang menempel di bola mata selama perjalanan mereka. Mereka bekerja dengan vila asli Yongsu Sapari untuk menavigasi dan menjelajahi daerah terpencil di timur laut Papua.

 

Echidna tertanam dalam budaya asli, termasuk tradisi yang menyatakan bahwa konflik diselesaikan dengan memindahkan salah satu pihak yang berselisih paham ke dalam hutan untuk mencari mamalia dan pihak lainnya ke laut untuk menemukan ikan marlin, menurut para tetua Yongsu Sapari yang dikutip oleh Universitas.

 

Kedua binatang buas ini dipandang sangat sensitif sehingga perlu waktu puluhan tahun atau satu generasi untuk mendeteksinya. Namun, sebelum terbentuk, makhluk-makhluk ini melambangkan berakhirnya konflik dan kembalinya hubungan yang harmonis.