BOGOR, CEKLISSATU – Hanya dalam rentang waktu kurang dari setahun Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari sudah tiga kali mendapatkan sanksi etik dari DKPP, satu kali dengan hukuman peringatan keras dan dua kali dengan hukuman peringatan keras terakhir. 

Pertama, pada April 2023 dengan kasus penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu terkait dengan kedekatannya secara pribadi dengan tersangka korupsi dan juga merupakan ketua partai republik satu. 

Kedekatannya tersebut dilakukan ketua KPU ketika Pemilu 2024 sedang pada tahapan verifikasi partai calon peserta Pemilu 2024. 

Kedua, Oktober 2023 dalam kasus aturan keterwakilan calon anggota legislatif perempuan yang bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu

Baca Juga : DKPP Nyatakan Ketua KPU Hasyim Asy'ari Terbukti Melanggar Kode Etik, Ini Sanksinya

Ketiga, terbaru adalah kasus penerimaan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Gibran tanpa merevisi peraturan KPU sesuai dengan putusan MK. 

Namun semua sanksi DKPP tersebut tidak ada dampaknya sama sekali. Termasuk tidak ada pengaruhnya terhadap posisi Hasyim sebagai ketua KPU. 

Jadi pemilu yang sangat besar ini diselenggarakan oleh lembaga yang ketuanya berlumuran cacat moral dan etika. 

Cacat moral, karena tidak mempunyai rasa malu masih memimpin KPU walaupun sudah tiga kali mendapatkan hukuman peringatan keras terakhir. 

Cacat etika, DKPP memutuskan ketua KPU Hasyim Asy’ari terbukti tiga kali melanggar etika berat sebagai penyelenggara pemilu

Baca Juga : Disanksi Peringatan Keras Terakhir oleh DKPP, Begini Respon Ketua KPU Hasyim Asy'ari

Di sisi lain, putusan yang dilakukan DKPP pun terlihat "banci" dan ambigu. Dimana DKPP hanya menjatuhkan hukuman bersalah melanggar etika berat, bahkan sampai tiga kali, tanpa memberikan konsekwensi yang relevan atas hukuman tersebut. 

Dari putusan DKPP yang terkahir ini, kita bisa melihat beberapa gambaran. Pertama, mempertegas perilaku konspiratif penyelenggara pemilu

Sejak awal terbentuknya penyelenggata pemilu, baik KPU, Bawaslu maupun DKPP aroma potensi akan terjadi suasana konspiratif untuk saling mengamankan, membiarkan pelanggaran, kecurangan dan kejahatan pemilu terjadi. 

Bagaimana tidak, ketidakprofesionalan kinerja KPU dibiarkan oleh Bawaslu, informasi pelanggaran dimana-mana, tidak mendapat perhatian dari bawaslu. 

Baca Juga : Yusfitriadi: Elektabilitas Prabowo-Gibran Stagnan, Jokowi Declare Keberpihakan Total

Bahkan bawaslu selalu sibuk membenarkan pelanggaran tersebut dengan alibi yang bemacam-macam. 

Begitupun DKPP tidak mungkin menegakan hukum etik, karena pimpinan DKPP sebagai besar diisi oleh orang-orang yang cacat etika, karena pernah dijatuhi hukuman etik. 

Kedua, Penyelenggaraan Pemilu Tuan Etika. Pemilu ini, dari mulai berjalan tahapan diselenggakan dengan penuh tuna etika, baik dari penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu maupun pemilih. 

Tunaetika penyelenggara Pemilu dibuktikan dengan beberapa hal yang disebutkan di atas. 

Begitupun peserta Pemilu, sudah tidak malu-malu lagi melakukan praktik politik uang, praktek mobilisasi ASN, TNI, Polri, Kepala Desa dan Aparatur lainnya, manipulasi bansos untuk kepentingan politik, merekayasa hukum demi ambisi dinasti kekuasaan. 

Begitupun dengan pemilih, masih banyak yang memilih karena pengaruh materialistik dan intervesi pihak-pihak yang ambisi kekuasaan. 

Ketiga, potensi hilang kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Mana mungkin pemilu bisa menghasilkan sesuatu yang baik, bermoral dan bermartabat, jika proses penyelenggaraanya tidak melalui cara-cara yang bermoral dan beretika. 

Kondisi ketidak percayaan ini sudah mulai menampakkan riak-riaknya dibuktikan dengan berbagai fenomena politik serual moral diantaranya oleh para akademisi. 

Tiga gambaran suasana penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu 2024 di atas, sangat berpotensi menjadi ancaman legitimasi bagi penyelenggaraan dan hasil Pemilu 2024. 

Ketika proses penyelenggaraan dan hasil Pemilu tidak mendapatkan legitimasi, maka tidak sederhana dampaknya bagi masa depan Indonesia. 

Karena bagi saya hasil kontestasi elektoral termasuk dalam ini hasil Pemilu harus mendapatkan mininal tiga legitimasi, yaitu legitimasi kekuasaan, legitimasi politik dan legitimasi etik. 

Salah satu faktor jatuhnya Soeharto sebagai hasil Pemilu 1997 karena tidak mendapatkan legitimasi etik dari rakyat Indonesia. 

Hal itu menjadi Indonesia luluh lantak. Tentu rasa optimisme harus selalu ada pada diri anak bangsa, termasuk saya. 

Dimana dalam waktu kurang dari sepuluh hari menjelang tahapan pungut hitung masih ada waktu untuk memperbaikinya. 

Pertama, Ketua KPU harus mundur. Hal ini selain pertanggungjawaban moral dan etika, juga untuk mengembalikan kepercayaan publik bagi penyelenggaraan pemilu. Kedua, Moral Bawaslu. 

Dimana bawaslu harus bertanggungjawab secara moral terkait berbagai masalah yang terjadi dan diakibatkan oleh lemahnya kinerna bawaslu dalam mengawasi dan menegkan hukum pemilu

Ketiga, berhentilah jokowi "cawe-cawe". Turun gunungnya para akademisi dan gerakan masyarakat sipil, dipantik oleh pernyataan dan sikap jokowi yang cenderung cawe-cawe, dipertegas dengan perntaaan tidak masalah presiden dan para mentri kampanye (berpihak). 

Tentu saja kondisi ini akan berdampak serius pada pemyelenggaraan pemilu, termasuk sikapnya akan diikuti oleh penyelenggara negara sampai pada tingkatan bawah.

*)Penulis adalah Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi.