JAKARTA,CEKLISSATU - Pengadilan Prancis menyetujui deportasi aktivis Palestina, Mariam Abudaqa. Abudaqa, yang menjadi tahanan rumah setelah serangan militan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober, dinyatakan sebagai anggota Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan dianggap sebagai potensi gangguan terhadap ketertiban umum.

Pemerintah Prancis telah menindak ekspresi solidaritas terhadap Palestina setelah serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan 1.400 orang, melarang protes, membatalkan acara dan menuduh beberapa kelompok pro-Palestina mengagungkan terorisme.

Dampak dari serangan balasan Israel ke wilayah Gaza telah menewaskan lebih dari 10.000 orang. Abudaqa sendiri menyatakan bahwa dia telah kehilangan 30 anggota keluarganya sejak dimulainya konflik.

“Kami seperti diminta untuk mati tanpa mengucapkan aduh, tanpa mengungkapkan rasa sakit,” kata Abudaqa tentang penangkapannya dan larangan berbicara pada Selasa sebelum keputusan pengadilan diambil.

Abudaqa yang merupakan aktivis anti-pendudukan dan hak-hak perempuan itu telah diundang untuk berbicara di majelis nasional Perancis pada sebuah acara pada Kamis, tetapi partisipasinya diblokir pada Oktober oleh presiden majelis.

Conseil d'Etat, pengadilan administratif tertinggi di Prancis, mendasarkan keputusannya pada keanggotaan Abudaqa di PFLP, dengan menyatakan bahwa ia menduduki posisi "kepemimpinan".

PFLP  telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Uni Eropa. Ini adalah pandangan dari sejumlah negara dan entitas internasional yang menganggap PFLP sebagai kelompok terlarang karena sejarah serangan terhadap warga sipil dan keterlibatan dalam kekerasan.

Pierre Stambul, aktivis Persatuan Yahudi Prancis untuk Perdamaian yang mendukung Abudaqa dalam menghadapi tuntutan pengadilan, mengatakan Abudaqa tidak lagi memegang posisi senior di kelompok itu selama lebih dari 20 tahun.

Keputusan tersebut merupakan “kelanjutan kriminalisasi terhadap penduduk Palestina”, kata Stambul.

Kantor menteri dalam negeri Prancis tidak memberikan tanggapan. Keputusan pengadilan tidak mengonfirmasi tanggal atau tujuan pasti di mana Mariam Abudaqa harus berangkat dan ke mana ia harus pergi.

Abudaqa merencanakan untuk terbang ke Mesir pada Sabtu dengan harapan perbatasan akan terbuka sehingga dia dapat kembali ke Gaza. 

Ia mengaku sulit tidur ketika serangan Israel di Gaza terus berlanjut dan menjadi takut memeriksa telepon genggamnya, karena khawatir akan berita buruk lainnya.

“Kematian jauh lebih mudah dibandingkan tinggal di sini, sementara hati saya menderita untuk mereka. Atau harus menerima kabar setiap hari tentang salah satu dari mereka yang meninggal,” katanya