JAKARTA, CEKLISSATUPresiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan bahwa presiden boleh kampanye dan berpihak di Pemilu mendatang. Hal itu pula disoroti oleh Wakil Ketua Dewan pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra.

Yusril Ihza Mahenda menyebutkan, Undang Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk ikut kampanye, apakah pemilihan presiden atau pemilihan legislatif.

Beleid yang sama juga tidak melarang kepala negara untuk berpihak atau mendukung salah satu pasangan calon presiden.

Kemudian lanjutnya, Pasal 280 Undang-Undang Pemilu secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya.

Baca Juga : Yusril Ihza Mahendra Bersedia Jadi Saksi yang Meringankan Firli Bahuri, Ini Alasannya

Sementara itu, pasal 281 mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. 

Kendati begitu, undang-undang tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.

"Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak," ungkap Yusril Ihza Mahendra, Rabu (24/1/2024).

"Aturan kita tidak menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak," tuturnya. 

"Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45," tambah Yusril Ihza Mahendra yang juga dikenal sebagai guru besar hukum tata negara.

Yusril Ihza Mahendra mengatakan, jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi hanya untuk satu periode. 

Jika ada pihak yang ingin presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak tersebut untuk mengusulkan perubahan konstitusi.

"Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak," ucap Yusril Ihza Mahendra

"Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” ujarnya.

Yusril, yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), berani berdebat ihwal ungkapan tidak etis yang diarahkan kepada Presiden Jokowi jika dia berpihak pada salah satu kandidat. 

Hal pertama yang harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.

"Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” kata dia.

"Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya," ucapnya. 

"Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada," tambahnya.

Atas dasar itulah Yusril mempertanyakan indikator etis yang dialamatkan kepada Jokowi, yang berujar di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma pada Rabu bahwa “presiden boleh berkampanye.”