JAKARTA, CEKLISSATU – Pada hari pertama hari tenang Pemilu 2024, Minggu (11/2/2024), Koalisi Masyarakat Sipil merilis film dokumenter berjudul 'Dirty Vote'.

Dalam film tersebut diceritakan tentang dugaan desain kecurangan Pemilu yang dilakukan tim dari tiga pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden 2024.

Terdapat tiga tokoh utama yang menguak desain kecurangan Pemilu. Yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Ketiga tokoh tersebut menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan Pemilu, sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Baca Juga : Masa Tenang Pemilu, Bawaslu: Bukan Hanya APK tapi Konten Kampanye di Medsos Ditertibkan

Bivitri Susanti menyebutkan, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat. 

Dimana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

"Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung," ungkapnya kepada wartawan, Minggu (11/2/2024). 

"Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi," tuturnya.

"Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis," tambahnya.

Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu mengingatkan, sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini. 

Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru? 

"Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan," ujarnya.

Sementara itu, Feri Amsari mengatakan, esensi Pemilu adalah rasa cinta tanah air. Ia menilai, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini. 

"Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat," katanya. 

"Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya," tegas Feri Amsari. 

Film Dokumenter Dirty Vote ini disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Ini merupakan film keempat yang disutradarainya mengambil momentum pemilu. 

Pada 2014 Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film 'Ketujuh', masa itu dimana kehadiran Jokowi dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru. 

Pada 2017, Dandhy juga menyutradarai 'Jakarta Unfair' tak berapa lama menjelang Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, Film Sexy Killers tembus 20 juta penonton di masa tenang pemilu 2019. 

Sexy killers membongkar jaringan oligarki bercokol pada kedua pasangan calon yang berlaga saat itu, Jokowi – Maruf Amin versus Prabowo-Hatta.

Seyogyanya menurut Dandhy, Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu. 

Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar.

"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," pungkasnya.