NEW DELHI, CEKLISSATU - Pemerintah Indonesia menghentikan ekspor inyak goreng dan crude palm oil (CPO). Akibat penghentian ekspor minyak dari bahan baku sawit ini sempat membuat India kalang kabut.

Mengutip NDTV, India merupakan importir minyak sawit terbesar di dunia. Indonesia memenuhi hampir setengah dari kebutuhan minyak sawit atau sekitar 700 ribu ton per bulan.

Hal ini diperkuat dengan kutipan berita Business Standard. Setiap tahun, India mengimpor 8 juta hingga 8,5 juta ton minyak sawit dunia. 45 persen kebutuhan itu dipenuhi Indonesia. Sementara sisanya berasal dari Malaysia.

Namun ternyata, produk yang dilarang adalah Refined, Bleached, Deodorizer (RBD) Palm Olein atau produk hasil rafinasi atau fraksinasi Crude Palm Oil (CPO).

Pengolahan itu dilakukan untuk penghilangan asam lemak bebas dan bau. Sementara bila belum dilakukan pengolahan alias masih dalam bentuk CPO, maka produk ini masih bisa diekspor.

Nah, ketika sudah ada penjelasan mengenai produk yang dilarang hanya RBD Palm Olein, India sedikit lega meski tetap was-was.

Pasalnya, warga India sebagian besar menggunakan minyak goreng dari sawit, kedelai dan bunga matahari. Untuk minyak sawit sendiri, India mengimpor 207.362 ton minyak sawit dari Indonesia. Dari jumlah itu, ada 145.696 ton RBD Palm Olein. Artinya, India masih terdampak kebijakan larangan ekspor RBD Palm Olein.

Tahun ini, India akan menghabiskan sekitar US$20 miliar untuk impor minyak goreng, dua kali lipat dibandingkan dua tahun lalu.

"Tak ada negara yang sangat tergantung pada pada impor. Kami sangat berdarah sekarang. Ini krisis besar. Kami perlu belajar dari krisis ini untuk mengurangi ketergantungan pada impor," kata BV Mehta, direktur Solvent Extractors Association, asosiasi perdagangan minyak goreng dilansir BBC.com, Selasa 3 Mei 2022.

India mengurangi tarif minyak goreng untuk meredam harga. Namun melonjaknya harga sejak 2020 dan terganggunya pasokan karena perang di Ukraina, memperparah kondisi.

Kenaikan harga minyak sawit global mencapai 300% dalam dua tahun terakhir, jenis minyak yang lebih disukai rumah tangga, hotel, restoran dan industri roti di India.

Tidak mengejutkan, harga minyak goreng naik lebih dari 20%, kurang dari satu bulan. Sejumlah laporan menyebutkan, warga menumpuk pasokan.

Sebagian besar makanan jalanan India adalah gorengan. Selain nasi, gandum dan garam, minyak goreng adalah seperti layaknya makanan pokok bagi kelompok paling miskin di India.

"Naiknya harga minyak goreng jelas sangat mengganggu," kata Sudhanshu Pandey, pejabat tinggi India yang menangani pasokan pangan.

Kenaikan harga minyak goreng juga memicu inflasi makanan yang mencapai 7,68%, kenaikan tertinggi dalam 16 bulan.

Presiden Badan Perdagangan Solvent Extractors Associations of India (SEA), Atul Chaturvedi mengatakan India akan berupaya mendatangkan lebih banyak minyak sawit dari Thailand dan Papua Nugini.

India juga berencana mengembangkan perkebunan sawit. Di satu sisi, rencana ini tampak bagus, panen yang cukup efisien dengan hasil minyak lebih banyak dibandingkan kedelai. Minyak sawit juga lebih banyak kegunaannya dan dapat diterapkan untuk konsumsi publik dan industri.

Namun, tanaman sawit juga memerlukan banyak air dan perkebunan baru akan memerlukan penebangan lahan hutan yang sangat luas. Pemerintah India telah mengajukan usulan sepertiga perkebunan sawit baru di kawasan berbukit di timur laut India.

Tetapi usulan ini memicu protes para pegiat lingkungan yang mengangkat contoh Indonesia dan Malaysia yang keberhasilannya mengorbankan hutan tropis.