JAKARTA,CEKLISSATU - TikTok didenda sebesar 345 juta euro karena melanggar hukum privasi terkait pemrosesan data pribadi anak-anak di Uni Eropa, kata regulator utama di blok tersebut pada Jumat 15 September 2023.

Komisioner Perlindungan Data Irlandia (DPC) menyatakan, Platform video singkat China ini melanggar sejumlah hukum privasi Uni Eropa antara 31 Juli 2020 dan 31 Desember 2020.

DPC menyatakan pelanggaran TikTok termasuk bagaimana pada 2020 akun untuk pengguna di bawah usia 16 tahun secara default diatur sebagai "publik" dan bahwa TikTok tidak memverifikasi apakah pengguna yang terhubung melalui fitur "family pairing" benar-benar adalah orangtua atau wali dari pengguna anak.

TikTok menambahkan kontrol orangtua yang lebih ketat ke fitur "family pairing" pada November 2020 dan mengubah pengaturan default untuk semua pengguna terdaftar di bawah usia 16 tahun menjadi "pribadi" pada Januari 2021.

TikTok menyatakan pada Jumat bahwa pihaknya berencana untuk memperbarui lebih lanjut materi privasinya untuk memperjelas perbedaan antara akun publik dan pribadi dan bahwa akun pribadi akan dipilih sebelumnya untuk pengguna baru berusia 16-17 tahun ketika mereka mendaftar untuk aplikasi tersebut mulai pada bulan ini nanti.

DPC memberi waktu tiga bulan kepada TikTok untuk menyesuaikan semua pemrosesannya jika ditemukan pelanggaran.

DPC membuka penyelidikan kedua atas transfer data pribadi oleh TikTok ke China dan apakah TikTok mematuhi undang-undang data UE ketika memindahkan data pribadi ke negara-negara di luar blok tersebut. Pada Maret, DPC mengatakan pihaknya mempersiapkan rancangan keputusan awal untuk penyelidikan tersebut.

Berdasarkan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa, yang diperkenalkan pada 2018, regulator utama bagi perusahaan mana pun dapat mengenakan denda hingga 4 persen dari pendapatan global perusahaan tersebut.

DPC telah menjatuhkan denda besar kepada raksasa teknologi lainnya, termasuk denda gabungan sebesar 2,5 miliar euro (sekitar Rp41 triliun) yang dikenakan pada Meta.

Lembaga itu membuka 22 penyelidikan terhadap perusahaan multinasional yang berbasis di Irlandia pada akhir 2022.