JAKARTA, CEKLISSATU – Program hilirisasi komoditas nikel dinilai sukses memberikan nilai tambah pendapatan Indonesia.

Nilai ekspor hilirisasi nikel pada 2017, ketika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah berupa bijih nikel sebesar US$4 miliar.

Pada 2033, realisasi nilai ekspor nikel hasil hilirisasi sudah mencapai US$ 11 miliar atau Rp 165 triliun (asumsi kurs Rp 14.915 per US$), atau meningkat 745%.

“Dulu pendapatan kita hanya US$ 4 miliar di 2017. Tahun lalu US$ 34 miliar. Dan tahun ini saya pikir bisa naik,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, dalam acara Jakarta Geopolitical Forum VII, seperti dikutip dari laman resmi Lemhanas, Senin 19 Juni 2023.

Baca Juga : Larang Ekspor Bauksit, Menteri ESDM Tak Takut Digugat Negara Lain

Oleh karenanya, pemerintah, kata Luhut, terus gencar menggenjot program hilirisasi di dalam negeri, dan tidak akan melakukan kegiatan penjualan bahan mentah ke luar negeri.

“Kita sudah mempunyai industrinya tapi ini baru satu sektor saja. Kita belum bicara bagaimana hilirisasi besi baja dan lainnya,” kata Luhut.

Pemerintah Indonesia digugat oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), karena kebijakan program hilirisasi nikel tersebut.

Hal itu membuat Luhut mempertanyakan kenapa Indonesia tidak boleh mengolah bijih nikelnya sendiri di dalam negeri.

"Jadi kenapa kita tidak boleh mengolah mineral kita sendiri kenapa harus diekspor. What the hell of (keceplosan), sorry to say," ujar Luhut.

Menurut Luhut, hilirisasi nikel dalam negeri selain meningkatkan perekonomian di dalam negeri juga menciptakan lapangan pekerjaan. Sehingga membuat usaha kecil menengah dapat turut berpartisipasi.

“Padahal dengan Indonesia melakukan kegiatan hilirisasi di dalam negeri, negara ini mendapatkan untung,” tegas Luhut.