JAKARTA,CEKLISSATU - Sebanyak enam perwira didakwa oleh pengadilan pada Rabu 6 September 2023 atas keterlibatan mereka dalam pembunuhan 56 orang warga sipil selama tindak kekerasan tentara dalam aksi demonstrasi anti-PBB di Republik Demokratik Kongo timur pekan lalu.

Pengadilan militer Goma mengatakan, Enam Perwira tersebut, termasuk seorang kolonel dan seorang letnan kolonel dari garda republik, tengah diadili terkait kekerasan terhadap manusia berupa pembunuhan, pembantaian, dan penghasutan pada prajurit untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas atau disiplin.

Dakwaan tersebut dibacakan pada awal sidang Selasa kemarin. Di mana para terdakwa belum dimintai pernyataan.

Dua perwira tersebut memimpin prajurit dalam aksi baku tembak kepada para demonstran, menurut sumber yang meminta namanya tidak disebutkan.

"Ini bukan tindakan negara, mereka bertindak secara terisolasi dan tidak dalam kerangka misi kedaulatan mereka," kata jaksa militer Michel Kashil kepada pengadilan.

"Kami akan menunjukkan bahwa ini adalah serangan sistematis terhadap populasi yang ditargetkan dengan baik, anggota gereja tertentu," katanya.


Pemerintah Kongo sebelumnya mengatakan bahwa 43 orang tewas dalam kerusuhan di Goma, Rabu lalu. Dalam sidang tersebut, Kashil mengatakan jumlah korban tewas mencapai 56 orang, dengan 75 orang lainnya luka.

Misi perdamaian PBB di Kongo timur, yang dikenal sebagai MONUSCO, telah menghadapi protes sejak tahun lalu yang dipicu oleh keluhan bahwa misi tersebut gagal melindungi warga sipil dari kekerasan milisi selama beberapa dekade.

Protes anti-MONUSCO pada Juli 2022 mengakibatkan lebih dari 15 orang tewas, termasuk tiga pasukan perdamaian di Goma dan kota Butembo.

"Respons pemerintah adalah langkah yang tepat, tetapi penyelidikan yang lengkap dan tidak memihak harus melibatkan pemeriksaan tingkat komando yang lebih tinggi untuk memastikan keadilan yang nyata," kata Thomas Fessy, peneliti senior Kongo di Human Rights Watch.

Ia menyerukan pemerintah untuk menyelidiki pejabat tingkat tinggi yang mungkin bertanggung jawab atas operasi tersebut, dan membebaskan warga sipil yang ditahan secara sewenang-wenang.