BOGOR, CEKLISSATU - Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) dipimpin Ketua Umum GIPI, Hariyadi BS Sukamdani mengajukan Pengujian Materil ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 58 Ayat (2). 

Pasal tersebut menetapkan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, antara 40 dan 75 persen.

Ketua Bidang Organisasi DPP GIPI, Yuno Abeta Lahay mengatakan bahwa dalam upayanya DPP GIPI berharap Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 58 Ayat (2) tersebut, sehingga tarif pajak hiburan dapat disetarakan pada kisaran 0-10 persen.

Baca Juga : Airlangga Hartarto Targetkan Partai Golkar Menang Telak Pada Pemilu 2024 di Kabupaten Bogor

Sebab, masih kata Yuno, DPP GIPI meyakini bahwa penetapan tarif pajak yang tinggi tidak didasarkan pada prinsip-prinsip dasar pengambilan keputusan dalam membuat undang-undang. 

"Pasal ini memberikan dampak diskriminatif terhadap pelaku usaha yang telah mematuhi peraturan dan perundangan yang berlaku," ucapnya.

Lebih lanjut, Yuno menyebut bahwa ada kekhawatiran terkait dampak negatif yang mungkin timbul akibat penetapan tarif pajak yang tinggi. DPP GIPI juga menyoroti potensi kehilangan konsumen, penutupan usaha, dan meningkatnya tingkat pengangguran di sektor hiburan

Apalagi, lanjut Yuno, ditengah upaya pemulihan sektor pariwisata pasca Pandemi COVID-19, Indonesia perlu bersaing dengan negara lain yang menetapkan tarif pajak hiburan lebih rendah atau bahkan menurunkannya untuk meningkatkan daya saing pariwisata.

"Dengan langkah ini, DPP GIPI berencana mengeluarkan Surat Edaran kepada Pengusaha Hiburan agar membayar pajak dengan menggunakan tarif lama, sebagai respons terhadap potensi kenaikan pajak hiburan di daerah mereka akibat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022," katanya.