JAKARTA, CEKLISSATU - Kekhawatiran Rusia atas ancaman yang diciptakan oleh para politisi Barat, terutama NATO yang akan memindahkan kekuatan militernya ke perbatasan Rusia-Ukraina, menjadi pemicu serangannya ke Ukraina

Rusia berinisiatif melakukan serangan duluan. Presiden Rusia, Vladimir Putin memerintahkan militernya menyerang Ukraina sebelum negara ini berubah menjadi pangkalan militer NATO dan membahayakan kedaulatan Rusia.

Namun, pada kenyataannya, aspek budaya dan sejarah juga menjadi permasalahan Rusia dan Ukraina

Sekitar tujuh bulan sebelum melancarkan serangan, Putin sempat menulis sebuah essay panjang berjudul "On the Historical Unity of Russian and Ukrainian". 

Di awal essaynya, Putin menegaskan bahwa bangsa Rusia, Belarusia, dan Ukraina terikat oleh kesamaan agama, bahasa, dan tradisi budaya. Di mana fakta tersebut tak dapat dipungkiri. 

Baca Juga : Ekonomi Rusia Susut 2,1% Akibat Invasi ke Ukraina

Jika ditarik mundur ke tahun 1988, saat itu ada penyebaran agama Kristen dari Kyiv ke seluruh tanah air Rusia.

Penyebaran ini gencar dilakukan, karena penguasa Kyiv, Vladimir the Great atau Vladimir I, resmi menjadi umat kristiani. Vladimir diketahui jadi aktor penting dibalik kristenisasi seluruh rakyat Rusia, yang kemudian jadi cikal bakal Gereja Ortodoks Rusia.

Mulai dari saat itu, agama Kristen menyebar dan lambat laun menyatu dengan tanah air Rusia

Sehingga terciptalah rasa nasionalisme dan spiritualitas di antara mereka yang amat kuat.

Dikutip dari AFP, Minggu 26 Februari 2023, Kyiv ternyata juga memiliki kedudukan penting bagi dunia keagamaan Rusia. Alhasil, sejak saat itu, relasi keduanya pun terjalin mapan sampai berabad-abad lamanya.

Sebagai catatan, Kyiv jadi bagian tak terpisahkan dari kekristenan Ortodoks Rusia. Namun, ketika konsep 'negara-bangsa' terbentuk hubungan keduanya lantas tak lagi sama, terlebih ketika Uni Soviet bubar pada 1991.

Setelah hancurnya negara komunis itu, Kyiv kemudian jadi ibu kota Ukraina. Pada saat bersamaan, mereka juga menulis sejarah versi mereka sendiri, yang menurut Putin di essay-nya, telah memojokkan Rusia atau Uni Soviet dengan menganggap episode sejarah bersamanya sebagai pendudukan.

Kemunculan berbagai sentimen dari elite kedua negara dan pihak eksternal lantas mendorong munculnya persaingan tidak terhindarkan yang tidak dapat dijaga oleh perasaan spiritual semata. Puncaknya terjadi pada 2019.


Giles Fraser di LSE pernah menulis bahwa di tahun tersebut Gereja Ortodoks Ukraina, yang sudah mengejar otonomi sejak lama, telah menyatakan kemerdekaannya dari Gereja Ortodoks Rusia, sekaligus tidak lagi bersekutu dengan anggota keluarga Ortodoks lainnya. Menyikapi hal ini Gereja Ortodoks Rusia marah dan menolak klaim kemerdekaan ini.

Mengutip tulisan "Russia's war on Ukraine: The religious dimension", dari sinilah terjadi perpecahan bersejarah dalam keluarga Ortodoks yang menjelma lebih dari persoalan spiritual semata. Ukraina dinilai telah "menghina" nilai-nilai tradisi keagamaan Rusia sekaligus melupakan Rusia dalam catatan masa lalu Ukraina.

Kondisi ini memicu kemarahan Putin hingga membuatnya menulis essay 5.000 kata itu. Namun, patut dicatat, essay itu sendiri sangat tidak logis karena secara eksplisit memperlihatkan keinginan Rusia merebut kedaulatan negara lain berdasarkan konsep kebangsaan yang hadir sejak ribuan tahun lalu.

Sayangnya, permasalahan agama ini telah larut dalam invasi Rusia ke Ukraina. Serangan ke Ukraina tak hanya dipandang motif ideologi, tetapi untuk memurnikan kembali nilai keagamaan.


Gereja Ortodoks Rusia pun menobatkan panggilan untuk Putin sebagai "Pengusir Setan". Hal ini karena keberhasilannya menghabisi Ukrainia yang telah memaksa warganya untuk meninggalkan nilai-nilai tradisi agama dan ortodoks Rusia.

Kemunculan berbagai sentimen dari elite kedua negara dan pihak eksternal lantas mendorong munculnya persaingan tidak terhindarkan yang tidak dapat dijaga oleh perasaan spiritual semata. Puncaknya terjadi pada 2019.

Giles Fraser di LSE pernah menulis bahwa di tahun tersebut Gereja Ortodoks Ukraina, yang sudah mengejar otonomi sejak lama, telah menyatakan kemerdekaannya dari Gereja Ortodoks Rusia, sekaligus tidak lagi bersekutu dengan anggota keluarga Ortodoks lainnya. Menyikapi hal ini Gereja Ortodoks Rusia marah dan menolak klaim kemerdekaan ini.

Mengutip tulisan "Russia's war on Ukraine: The religious dimension", dari sinilah terjadi perpecahan bersejarah dalam keluarga Ortodoks yang menjelma lebih dari persoalan spiritual semata. Ukraina dinilai telah "menghina" nilai-nilai tradisi keagamaan Rusia sekaligus melupakan Rusia dalam catatan masa lalu Ukraina.

Kondisi ini memicu kemarahan Putin hingga membuatnya menulis essay 5.000 kata itu. Namun, patut dicatat, essay itu sendiri sangat tidak logis karena secara eksplisit memperlihatkan keinginan Rusia merebut kedaulatan negara lain berdasarkan konsep kebangsaan yang hadir sejak ribuan tahun lalu.

Sayangnya, permasalahan agama ini telah larut dalam invasi Rusia ke Ukraina. Serangan ke Ukraina tak hanya dipandang motif ideologi, tetapi untuk memurnikan kembali nilai keagamaan.

Gereja Ortodoks Rusia pun menobatkan panggilan untuk Putin sebagai "Pengusir Setan". Hal ini karena keberhasilannya menghabisi Ukrainia yang telah memaksa warganya untuk meninggalkan nilai-nilai tradisi agama dan ortodoks Rusia.